Chapter 4. The Invisible Distance
“Not every distance is measured in miles—some are carved in silence.”


Echoes from the Cards
Hari sudah sangat larut ketika Gareth memacu mobilnya membelah jalanan yang gelap berkabut kota Edinburgh. Dingin yang menggigit tidak lagi dipedulikannya. Siksaan dingin itu tidak mampu menghapus ingatan seputar percakapannya dengan Helen Drummond. Bacaan Tarot malam ini bagi Gareth begitu mengena. Tapi dia sudah bertekad sejak awal, apapun yang Helen katakan, akan dia tolak mentah mentah. Dia tidak suka dengan ramalan dan baginya Tarot adalah Scam kejam yang sering dibungkus dengan kata kata spiritual.
Namun tidak dapat dipungkiri, ucapan Helen begitu menancap di kepalanya. Ucapan yang merupakan makna dari kartu Five Of cups yang ditarik Helen untuk menggambarkan kehidupan Gareth saat ini.
”Five Of Cups, kau membiarkan rumah tanggamu kosong kasih sayang. Banyak kekecewaan yang kau berikan pada pasanganmu. Jika terus seperti ini, lama kelamaan dia akan mencari orang lain untuk membahagiakan dirinya.
”Suara Helen begitu kuat meneror sanubarinya, sepertinya suara itu berasal dari kartu 5 of Cups yang terselip di saku jasnya. Oh Damn, ingin rasanya Gareth membuang kartu itu. Tetapi sampai detik dia pulang, hal itu tidak dilakukannya dan justru kartu itu ikut bersamanya kembali ke apartemen.
Entahlah mengapa, tapi perkataan Helen itu melahirkan pertanyaan pertanyaan batin yang berkelindan dalam benaknya. Benarkah Rumah tangganya kosong dari kasih sayang? Gareth merasa kasih sayang ditunjukkan dengan kerja keras untuk memprovide kehidupan yang layak bagi Isobel di Edinburgh. Siapapun tahu hidup di Edinburgh berbiaya tinggi tanpa kerja keras mustahil mereka memiliki apartemen yang berada di kawasan elit seperti sekarang.
Mungkinkah Isobel kecewa dengan kehidupan perkawinan mereka meski dia sudah berusaha melakukan yang terbaik? Gareth menggelengkan kepalanya dengan keras seperti ingin mengusir berbagai scenario buruk yang muncul di kepalanya.
Namun tetap saja suara dan skenario buruk itu datang lagi dan lagi. Mungkinkah Isobel tidak bahagia? Mungkinkah sekarang dia sedang dekat atau mencari kebahagiaan dengan pria lain? OH God Bacaan Tarot sialan itu perlahan tapi pasti mempengaruhi pola pikir Gareth begitu dalam. Sedemikian besar pengaruhnya hingga saat dia berhenti di depan gedung apartemen tempat tinggalnya, dia merasakan sebuah kekosongan yang hampir absolut. Sebuah Void yang sulit untuk ditembus.
The Quiet Between Us
Kehangatan apartemen menyergap begitu Gareth memasukinya. Dia melihat ke arah ruang baca yang terletak di ujung koridor. Lampu kuning masih menyala lembut, mengisyaratkan ada seseorang yang masih bertahan hingga larut di ruang itu.
Perlahan Gareth berjalan menghampiri dan begitu dia menengok ke dalam ruangan, tatapannya beradu dengan wajah Isobel yang saat itu melihat ke arahnya tenang tanpa emosi.
“Kau belum tidur?” tanya Gareth
“Aku belum mengantuk.”
“Buku apa yang kau baca?”
“Tidak penting, istirahatlah, kau tentu lelah.”
Gareth merasa Isobel menjawab pertanyaannya begitu dingin, singkat dan tanpa emosi. Seolah istrinya itu terbuat dari batu pualam yang menghiasi ruang baca dan bukan manusia dengan empati yang hangat.
Gareth tahu persis Isobel bukan tipe orang yang suka membaca dan bertahan hingga larut malam hanya untuk sebuah buku atau Novel. Insting Psikiaternya mulai mengendus adanya upaya bertahan atau coping mechanisms yang terlalu halus dan sempurna.
Gareth tetap berdiri didepan pintu ruang baca dan memperhatikan gestur Isobel dengan buku di pangkuannya yang sepertinya tidak dia baca dan hanya berfungsi sebagai distraksi saja, atau setidaknya memberi kesan bahwa Isobel sedang melakukan kegiatan yang aman dan bukan hal yang patut untuk dicurigai.
Sekali lagi Gareth menggelengkan kepalanya dan menepis pikiran negatif. Dia tidak ingin ramalan Helen tentang kemungkinan Isobel mencari kebahagiaan sendiri diluar dirinya menjadi kenyataan. Dia sangat yakin Isobel tidak akan melakukan hal sehina itu. Dia wanita pendiam, penurut dan selalu ada di rumah. Dia tidak pernah pergi kemanapun. Surga Isobel adalah Apartemen mereka.
Namun sekali lagi sebuah pertanyaan kecil menghantam sanubari Gareth. Apakah Isobel bahagia? Jika ya dari mana penilaian itu datang? Bukankah mereka sangat jarang berkomunikasi? Saat berganti baju Gareth kembali denial, fakta mereka hampir tidak pernah berbicara dari hati ke hati seperti layaknya pasangan suami istri lebih dikarenakan kesibukan masing masing dan bukan karena Isobel tidak bahagia.
Gareth merasa sepertinya malam ini dia perlu membuktikan bahwa ramalan Helen tidak benar. Dia bertekad mendekati Isobel dan mencoba mengajaknya berbicara berdua. Dia yakin Isobel akan segera luruh dan bersandar di dadanya yang bidang seperti yang sudah sudah, walaupun itu mungkin terjadi hampir 10 tahun yang lalu.
Setelah berganti baju rumah, Gareth kembali ke ruang baca dan dia mendapati istrinya itu masih duduk di posisi yang sama dengan buku terbuka di pangkuan dan tatapan kosong seperti tidak sedang membaca apapun. Dia mendekat dan mencoba duduk di sebelah Isobel seraya merentangkan tangan ingin memeluknya.
Namun hal berikutnya yang terjadi sungguh membuat jantung Gareth mencelos dan seperti berhenti berdetak. Secepat kilat Isobel mengambil ancang ancang berdiri menghindari upaya Gareth untuk memeluknya.
“Mengapa kau berdiri ? Apakah aku mengganggumu?” tanya Gareth
“Hari sudah malam Gareth, aku ingin tidur, kau pun juga harus istirahat. Besok kau masih harus bekerja bukan?”
“Aku ingin memelukmu sebentar saja,” jawab Gareth sambil berusaha meraih pundak Isobel. Namun Isobel menepisnya halus dan kembali berkata,” Besok saja, aku capek.”
Setelah itu Isobel pergi meninggalkan Gareth seorang diri di ruang baca. Gareth memejamkan mata dan rahangnya mengeras. Dia menyadari satu hal malam itu, telah terentang jarak tak kasat mata antara dia dan istrinya. Dan yang paling menyakitkan jarak itu tercipta karena kesunyian dan bukan karena jauhnya keberadaan fisik. Sebuah Void yang dia tidak tahu sejak kapan tercipta dan apakah dia mampu menembusnya.
A Door Half-Closed
Pagi itu Gareth sudah siap untuk berangkat ke kantor. Tidak seperti biasanya, dimana dia langsung berangkat. Pagi ini dia mampir ke ruang baca Isobel untuk sekedar memastikan semua baik baik saja. Dia melihat istrinya sedang asyik di depan laptop. Batin Gareth berkata, tidak kah ini terlalu pagi untuk seorang ibu rumah tangga macam Isobel membuka Laptop? Apa yang sebenarnya dia kerjakan?
Begitu Gareth masuk ke ruangan itu, secepat kilat Isobel menutup laptopnya tanpa mematikannya terlebih dahulu. Seolah dia ingin menyembunyikan sesuatu.
“Aku kirim email pada teman SMA ku, Suzane, kau tahu khan? Dia menawariku sebuah proyek amal yang akan kita kerjakan bersama teman alumni SMA saat natal nanti,” jelas Isobel sedikit gugup.
Gareth menangkap nada gugup itu, tetapi dia berusaha tenang dan tidak terlalu menanggapi. Sekilas dilihatnya sebuah kertas yang tergeletak diatas meja dan kertas itu lebih mirip brosur malam dansa ketimbang malam penggalangan dana untuk proyek amal. Isobel sadar Gareth memperhatikan brosur itu, secepat kilat diraihnya dan disobeknya menjadi kepingan lalu dibuang ke tempat sampah.
“Brosur tidak penting, aku buang saja.” tegas Isobel dengan suara bergetar.
Tak lama Ponsel istrinya bergetar, sebuah nama yang tidak asing tapi juga tidak jelas terbaca muncul. Tidak seperti biasanya, Isobel secepat kilat mematikan ponsel itu.
“Low bat dia perlu di Charge,” kata Isobel
Gareth memperhatikan gestur istrinya dan melihat sebuah kebohongan yang tampak rapi tersimpan dalam kesunyiannya. Tapi dia terlalu takut untuk bertanya, khawatir apa yang Helen Drummond katakan pada pesta Halloween itu menjadi kenyataan. Sehingga dia memilih untuk diam dan tidak bertanya lebih lanjut.
Namun satu hal yang Gareth bisa pastikan, Isobel menyimpan sesuatu yang sangat penting. Bahkan lebih penting dari kehadiran dirinya sebagai suami. Dia bisa merasakan istrinya memiliki sebuah jalan keluar dari kesunyian yang selama ini terentang diantara mereka, hanya saja Isobel belum benar benar melangkah untuk meninggalkan kesunyian itu.
*****
The Shadow
Matahari sudah sepenuhnya tenggelam ketika Gareth pulang ke apartemen. Langkahnya gontai, badannya terasa tegang dan kaku. Seharian menangani 5 orang klien dan mendengar curhat mereka terkait masalah rumah tangga membuat dirinya sendiri bercermin, betapa saat ini dia pun berada pada tepi jurang masalah yang sama. Buruknya pola komunikasi dengan Isobel, jarak tak kasat mata diantara mereka, seolah menegaskan bahwa dia adalah konselor yang hanya pandai memberi nasehat dan saran pada kliennya, tetapi tidak mampu menjalani nasehat itu.
Tiba tiba Aroma aneh yang khas menghantam kesadaran Gareth ketika kakinya menginjak ruang tamu apartemen. Aroma maskulin yang kuat, perpaduan amber, kayu manis dan sedikit mint. Aroma ini mengusik insting Gareth. Apakah Isobel menerima tamu hari ini? Siapa dia? Laki laki atau perempuan?
“Siapa yang berkunjung kemari hari ini?” tanya Gareth pada istrinya yang duduk menghadap jendela ruang tamu.
“Tidak, tidak ada. Aku hanya mencoba parfum ruangan baru,” sahut Isobel
Gareth memiringkan kepalanya, gesturnya tampak jelas meragukan penjelasan Isobel.
“Ini Aroma parfum dan bukan pengharum ruangan. Parfum laki laki. Apakah kau menerima tamu laki laki hari ini?” cecar Gareth tanpa peduli penjelasan Isobel.
Isobel menatap ke arahnya dengan sorot mata tidak suka , lalu menjawab,” Apakah aku harus melaporkan semua kegiatanku di apartemen ini? Aku sendirian sedari tadi dan tidak menerima tamu. Cobalah percaya padaku dan jangan menuduh sembarangan.”
Gareth terkejut, selama ini Isobel tidak pernah berbicara padanya dengan nada tinggi apa lagi dengan raut wajah penuh amarah seperti tadi.
“Baiklah aku minta maaf Isobel, aku terlalu lelah. Tadi aku banyak klien yang harus ditangani.”
Tanpa menjawab sepatah katapun, Isobel meninggalkannya seorang diri tenggelam dalam pikiran kalut penuh rasa curiga.
Malam itu Gareth lebih banyak diam dan mencoba menahan gejolak di dalam dadanya. Kata kata Helen tentang Istrinya yang akan mencari kebahagiaan dengan orang lain kembali mencuat, tetapi seketika itu juga dia menepisnya jauh jauh.
Tidak mungkin Isobel akan menemukan laki laki lain. Dia introvert, tidak punya banyak teman dan selalu berada di dalam rumah. Tidak mungkin ada pria yang akan mendekati Isobel. Tapi bagaimana dengan aroma maskulin yang menyeruak saat dia masuk tadi? Pikiran itu terus menghantui dan berputar putar di kepalanya.
Gareth mengambil salah satu mantel musim dingin dari dalam lemari. Dia berniat membawanya ke binatu besok pagi. Musim dingin sudah dekat tidak ada salahnya menyiapkan segalanya sebelum salju pertama turun. Gareth memeriksa semua saku khawatir kalau ada barang berharga tertinggal di sana sebelum besok pagi dia bawa.
Pada salah satu kantong, tangannya meraba secarik kertas. Rupanya karcis konser musik klasik musim dingin tahun lalu. Ada tiga karcis di sana, satu atas namanya, satu atas nama Isobel dan satu atas nama Fergus Mc Fae, teman masa kecil Isobel.
Entahlah mengapa saat membaca nama Fergus, jantung Gareth berdetak lebih kencang. Seolah nama itu membuatnya terancam sekaligus merasa curiga. Meski dia tahu Fergus tidak tinggal di Edinburgh dan tidak mungkin mengunjungi Isobel tanpa memberi kabar padanya.
Tetapi tetap saja bayangan Fergus menari nari di wajahnya. Bagaimana jika benar Fergus masuk ke apartemen mereka tanpa sepengetahuannya. Bagaimana jika sepanjang hari Isobel tidak dirumah melainkan pergi bersama Fergus? Bukankah mereka berteman sejak kecil? Gareth mendengus dan berupaya setengah mati menepis semua kecurigaannya itu.
*****
The Distance Between US
Malam itu Gareth bermaksud minta maaf pada Isobel. Dia tahu Istrinya marah dan kurang nyaman dengan pertanyaan yang dia ajukan tadi. Perlahan Gareth menghampiri istrinya yang tidur menghadap tembok lalu memegang lembut bahunya.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud menuduhmu,” ujar Gareth berbisik
Tapi Isobel mengibaskan tangan Gareth dengan gerakan pundak. Gareth perlahan menurunkan tangannya, dan berkata, “ Kita terlalu lama seperti dua orang asing tidur dalam satu ranjang Isobel. Tidak adakah waktu sedikit bagiku malam ini untuk bisa memelukmu?”
“Aku lelah, kau tidurlah, besok kau sudah harus kerja lagi,” jawab Isobel dengan mata tertutup.
Perlahan Gareth akhirnya merebahkan diri di samping Isobel. Sesaat sebelum kepalanya benar benar menyentuh bantal, tiba tiba aroma parfum maskulin itu menyeruak lagi, dan terasa lebih pekat, karena bercampur dengan semburat aroma minyak rambut pria yang lembut.
Jantung Gareth kembali berdesir, kali ini dia yakin ini bukan parfum ruangan, ini parfum seorang pria. Entah siapa. Seketika dia menoleh ke arah istrinya dan melihat pundak istrinya naik turun perlahan, nafasnya teratur seperti seorang yang sudah lelap dalam tidur yang dalam.
Gareth menatap langit langit kamarnya yang terasa dingin dan bisu. Baru kali ini dia merasa, bahwa dia tidak lagi menemukan rumah di apartemen ini. Dia hanya mendapatkan ruang kosong dan sunyi yang perlahan tapi pasti mengikis otoritas dan dominasinya sebagai seorang suami.
*****
