Into The Lion’s Den

Chapter 1. Until He Let Me Go

DARK CEO ROMANCE

Leona Night

10/14/20256 min read

“Not All Cages Have Bars, Some Have Polished Glass and Scented air”

POV Elira Mardeaux

A Palace Of Power

The Gherkin Tower, menara torpedo yang terkenal di London, tampak angkuh berdiri menyambutku. Mobil tua bututku seperti kotoran kecil saat memasuki halaman tower ini. Perlahan aku menuju tempat parkir otomatis, dimana terdapat ratusan mobil mewah milik para CEO De Luxen yang berkantor di gedung ini.

Setelah mendapatkan tempat parkir nyaman, aku diam sebentar di dalam mobil, mengumpulkan tekad dan keberanian memasuki tower yang tampilannya ratusan kali lebih elegan dari kantor tempatku bekerja.

Tidak ada papan nama mencolok, hanya kilatan logo kecil di sisi pintu putar: De Luxen Strategic Holdings. Ringkas. Penuh percaya diri. Seolah dunia tahu siapa mereka tanpa harus dijelaskan.

“Bangunan ini memang dikenal publik sebagai The Gherkin. Tapi bagi mereka yang ada di dalam — namanya hanya satu: De Luxen Tower.”

“Tidak ada satu pun perusahaan lain di dalamnya. Semuanya sudah dibeli perlahan, lewat nama berbeda, hingga De Luxen menjadi satu-satunya tuan rumah yang sah.”

Pintu putar menyambutku, ketika aku menjejakkan langkah kaki pertama menuju lobi gedung ini. Udara di dalam gedung bagiku lebih dingin dan beku dari pada di luar, atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Interior lobi super mewah dengan marmer hitam yang mengkilat. Begitu mengkilatnya hingga aku merasa sepatu hitamku terlihat begitu kotor saat men jejaknya.

Di Tengah ruangan tampak lampu gantung mewah seperti Kristal yang dibekukan oleh waktu. Pantulan cahayanya menimbulkan suasana soft yang teduh. Aku seperti dibawa ke nuansa Buckingham Palace yang lebih Futuristik.

Suara langkah kakiku bergema meski aku berusaha melangkah sepelan mungkin. Ruangan itu begitu sunyi, seperti menyembunyikan berbagai aktivitas Financial dibalik dinding dan lapisan kaca megah yang meliputinya.

Sedikit canggung aku menuju meja receptionist. Seorang wanita muda dengan penampilan begitu rapi menyambutku ramah meski dengan senyum tipis seperti dipaksakan.

“Selamat pagi. Anda dijadwalkan bertemu dengan...?”

Cassian de Luca. Saya Elira Mardeaux dari FIRA (Financial Integrity and Risk Authority). Sudah dijadwalkan bertemu dengan beliau atau staf yang ditunjuk pukul sembilan.”

Dia mengangguk, lalu berkata,” Kantor Meeting De Luxen ada di lantai 38, silahkan menuju lift di sebelah sana,”

Aku tersenyum tipis, bagiku lobi ini tampak begitu steril. Tanpa tumpukan majalah atau koran, tidak ada aroma kopi bahkan sekedar senda gurau sederhana pun tidak terdengar. Suasana yang kaku dan menakutkan, atau mungkin aku yang terlalu paranoid, entahlah.

Seorang security mengantarkan aku ke lantai 38 melalui sebuah lift yang tak kalah mewah. Aku termangu, Gedung megah, pengamanan ketat, suasana profesional dan elegan, jelas perusahaan yang akan aku tuju ini punya gengsi Internasional yang sangat kuat dengan jaringan bisnis yang tidak kaleng kaleng.

Aku menghela nafas panjang, dan mulai memperhitungkan situasiku, sepertinya pekerjaan kali ini tidak akan mudah, banyak tantangan dan yang jelas rawan resistensi atau penolakan. Semoga aku bisa melaluinya dengan baik.

‘Ting’

Lift yang kunaiki akhirnya sampai di lantai 38, dengan langkah sedikit ragu aku keluar lift dan masuk ke area Meeting De Luxen Strategic Holdings. Kesan pertamaku atas kantor itu hanya satu.

“This is not just an office. This is an empire.”

The Silent Watchers

Awalnya, aku pikir, di lantai 38 aku akan menemui banyak orang mondar mandir dan berbicara, banyak wajah penuh senyum yang akan menyapaku dan seterusnya. Namun, lagi lagi aku salah. Aku hanya disambut oleh seorang sekretaris berwajah datar, yang memperkenalkan diri dengan nama Moira Kelleher.

“Selamat datang di De Luxen Strategic Holdings,” ujar Moira dengan senyum tipis berkesan sedikit dipaksakan. Sikapnya seperti tidak menyambut, tetapi lebih pada memverifikasi.

“Terimakasih. Aku senang bisa berkunjung ke Kantor tempat anda bekerja Miss Moira,” ujarku berusaha mencairkan suasana. Namun sepertinya upayaku sia sia, dia tampak tidak peduli dan sedikit tegang.

“Saya diberi tugas oleh Manajemen untuk mendampingi anda selama bertugas di sini, Miss Elira. Dan tugas pertama saya pagi ini adalah mendampingi anda melakukan Room Tour, sehingga selama anda memeriksa perusahaan kami,anda tahu ruang mana yang perlu anda tuju sesuai dengan kepentingan anda, “ ujarnya datar.

Aku mengangguk dengan senyum tipis. Moira sebenarnya berwajah menyenangkan, tetapi dia terlihat sangat kaku dan tidak bersahabat. Rambut coklat pirangnya di kuncir sederhana, wajahnya sedikit ber make up dengan lipstik warna nude. Sungguh kontras dengan kemewahan gedung ini. Sikapnya profesional, datar, jarang senyum. Selalu tepat saat bicara, tidak lebih dari yang diperlukan.

Aku merasa Moira bukan sekadar sekretaris, Ia adalah "penjaga pintu De Luxen Strategic Holdings", seseorang yang tahu apa yang tidak boleh dikatakan, dan kepada siapa dia hanya akan berbicara. Aksen Dublin Irlandia nya terdengar halus, ditutupi dengan Inggris formal yang sempurna. Usianya sulit ditebak—sekitar awal empat puluh mungkin, tapi sikapnya membuatnya terasa jauh lebih tua.

Jika Cassian de Luca ( Pemilik De Luxen ) adalah legenda, maka wanita ini adalah senter kecil yang mengawasi siapa saja yang mencoba mendekat terlalu dalam. Dalam hati aku langsung menjulukinya sebagai The Silent Watcher.

A subtle display of power

Tak lama setelah melewati beberapa lorong, dia berhenti di sebuah ruangan kaca setengah gelap, membuka pintunya hingga tampak interior dalam ruangan itu, sebuah ruang eksklusif, dengan meja oval besar dan layar interaktif.

“ Tempat ini adalah The Situation Room, tempat para eksekutif kami melakukan pengambilan keputusan strategis berbasis data real-time. Ruangan ini dilengkapi dengan layar besar menampilkan peta dunia dan pergerakan grafik keuangan,” ujar Moira singkat.

Aku mencatat nama ruangan dan lokasinya, Dalam hati aku menilai, ruangan ini seperti ruang perang dalam film Star Wars, hanya saja ini bukan perang luar angkasa, tapi perang uang.

Setelah itu kami jalan lurus ke depan melewati beberapa ruangan dan sampailah di ujung koridor. Lalu kembali Moira membuka salah satu pintu dan berkata, “ Berikut ini adalah The Archives, ruang dokumentasi digital.”

Ruangan ini penuh rak minimalis dan beberapa workstation tertutup. Sekilas terlihat seperti tempat pengarsipan biasa, tapi semuanya sangat steril dan terenkripsi. Ada satu ruangan kecil dengan fingerprint scanner untuk akses khusus. Moira tidak menjelaskan ruangan apa itu. Aku kembali membuat catatan dan sedikit beropini, biasanya pintu dengan pengamanan tingkat tinggi macam itu menyimpan data yang lebih kompleks dari sekedar laporan tahunan.

Setelah itu kami berjalan lurus dan berbelok ke arah kanan dan masuk ke dalam lorong yang dindingnya penuh dengan tulisan dan foto. Bagiku berkesan seperti ada di sebuah lorong museum.

“Lorong ini kami namai Gallery Of Merger. Lorong ini cukup panjang dan kami lengkapi dengan pigura kaca. Pigura dokumentasi visual dari proyek besar, merger serta akuisisi yang pernah perusahaan kami lakukan,” jelas Moira dengan nada bangga.

Aku melihat dokumentasi setiap proyek ditampilkan seperti karya seni seolah merupakan prestasi perusahaan. Namun Ada satu proyek dengan tanda "Terminated Confidentiality"—dan itu satu-satunya yang tidak diberi keterangan. Aku kembali mencatat, Kenapa hanya yang ini tanpa deskripsi? Siapa yang disingkirkan?

Lepas menelusuri Gallery Of Merger, kami menuju ruangan yang berkesan seperti ruang tunggu, tetapi nuansa eksekutif sangat terasa.

“Ruangan ini adalah Sanctuary Room atau yang biasa dikenal orang dengan sebutan Lounge Eksekutif, “ jelas Moira singkat.

Aku memperhatikan ruangan itu, sebuah ruang tunggu eksekutif dengan tanaman hidup, aroma citrus yang menenangkan, dan seni instalasi. Semua yang ada di sana serba terkurasi, dan sangat tenang, bahkan cenderung terlalu tenang.

Moira menambahkan, “Kadang Mr. De Luca bekerja dari sini.”

Aku memandangnya keheranan, namun kemudian aku berpikir, bisa jadi Cassian De Luca menjadikan tempat ini sebagai ruang pengawasan. Orang sukses seperti dia selalu punya cara tersembunyi untuk mengendalikan banyak hal dalam satu waktu.

Setelah itu kami kembali berjalan melewati koridor minimalis yang membawa kami makin masuk ke jantung kantor ini. Tak lama kami pun tiba di sebuah ruangan dengan papan nama AI-Powered Data Lab.

Ruangan itu begitu sunyi dari luar. Dan saat Moira membukanya, aku kaget karena di dalam ruangan itu ada sekitar sepuluh orang yang kesemuanya bekerja dalam diam. Tidak ada suara manusia disana, hanya terdengar suara tuts keyboard yang dipencet secara bersamaan oleh kesepuluh pegawai. Seolah olah mereka ingin berkata We are the core of this system.

“Ruangan ini adalah Jantung Informasi De Luxen. Kami mengendalikan seluruh bisnis dan investasi dari ruangan ini. Seluruh informasi di ruangan ini akan muncul secara otomatis di layar Personal Computer milik Tuan Cassian. Bahkan bisa diakses angka angkanya dari Tab pribadi beliau,” jelas Moira dengan nada bangga.

Aku memperhatikan semua tampilan layar, hanya angka angka asing yang tidak cukup jelas bagiku. Aku mulai memutar otak, ruangan ini adalah tempat pertama aku bisa masuk dan memeriksa. Tapi di komputer sebelah mana dan seperti apa, semua masih penuh tanda tanya.

Setelah dari ruang AI Powered Data lab, aku dibawa menuju ke sebuah lorong lain yang makin terasa nuansa Eksklusifnya. Kanan kiri lorong terdapat hiasan dinding seperti Lukisan Abstrak yang jika aku taksir harganya bisa mencapai Jutaan dolar. Aku merasa sepertinya Moira membawaku ke sebuah ruangan yang merupakan milik Nahkoda perusahaan ini.

Dan benar saja, kami masuk ke sebuah ruangan mewah minimalis dengan kursi tunggu yang sepertinya sengaja didesain khusus oleh rumah mode ternama di London. Aku menduga ruang tunggu ini adalah ruang eksklusif hanya untuk tamu yang memang diperkenankan menemui Cassian De Luca sang Pemilik De Luxen.

Aku tidak langsung diajak masuk, tapi diajak berhenti tepat di depan pintu besar hitam matte tanpa label.

"Mr. De Luca will see you when he’s ready. Until then, please make yourself comfortable,” ujar Moira tanpa ekspresi.

Ruang tunggu itu hanya berisi satu sofa besar cukup untuk dua orang, dengan dekorasi minimalis futuristik. Entahlah tapi nama Cassian De Luca membuat jantungku bergetar. Seakan pemilik nama itu siap menerkamku bulat bulat jika aku salah atau mengungkap hal yang tidak dia suka dalam laporan audit yang kubuat.

Bagiku Tour ruangan ini lebih mirip a subtle display of power, dibandingkan menunjukkan denah lokasi per ruangan. Aku merasa seperti diperingatkan bahwa saat ini aku perlahan tapi pasti sedang masuk ke dalam kandang singa.

*****

BACA CHAPTER 2