The Man Behind the Glass

Chapter 2. Until He Let Me Go

DARK CEO ROMANCE

Leona Night

10/14/202511 min read

"Some men conquer you in silence, and strip you bare with just a glance. You don’t fight it—you crave it."

POV Elira Mardeaux

First Glance

Kedatanganku seorang diri sebagai perwakilan dari FIRA (Financial Integrity and Risk Authority, UK) bisa dianggap cukup bernyali. Perusahaan sebesar De Luxen Strategic Holdings dengan lini bisnis cukup banyak seharusnya menjadi target audit yang sangat intimidatif untuk Auditor manapun.

Biasanya kami bergerak dalam tim. Tapi kali ini karena keterbatasan anggaran dari mitra kami, maka membentuk tim kerja untuk tiap perusahaan adalah sebuah pemborosan. Dan disinilah aku seorang diri harus mengaudit keuangan perusahaan ini sebagai perwakilan dari lembaga Independen yang ditunjuk oleh pemerintah Kerajaan Inggris.

Aku tahu tugas ini tidak mudah. Tapi yang membuatnya lebih tidak mudah lagi adalah reputasi dari CEO De Luxen yang terkenal dingin dan Misterius. Sedikit sekali data yang bisa aku peroleh tentang Cassian De Luca sang CEO sekaligus pemilik.

Aku hanya tahu dia berusia sekitar 40 tahunan dengan nama keluarga De Luca dan dia lahir di Sicilia Italia. Selebihnya Zonk. Apakah dia berkeluarga, siapa nama istrinya berapa jumlah anaknya, semua seperti kabut musim dingin yang menguap di tengah danau. Bahkan Foto wajahnya seperti apa aku juga tidak tahu.

Saat ini setelah Tour panjang yang bagiku tampak seperti Pameran kekuasaan, aku dipaksa duduk menunggu Yang Terhormat Tuan Cassian untuk menerimaku. Semakin aku merasa kehadiranku di perusahaan ini lebih dianggap sebagai pengganggu dari pada mitra sejajar. Yup, siapa juga yang dengan senang hati menerima Auditor FIRA dengan tangan terbuka.

Kami sering kali mendapat julukan sebagai MISTUR ( Pengemis Teratur) dari kalangan pengusaha. Begitulah mereka menganggap kami sebagai pengemis terorganisir yang mengiba kepada pihak otoritas untuk mendapatkan uang dan pekerjaan dan bukan sebagai lembaga profesional yang membantu pemerintah.

Setelah menunggu sekitar 25 menit dengan otak yang melayang kemana mana, akhirnya pintu besar dari kayu itu pun terbuka dan Moira Kelleher, sang Sekretaris dengan wajah kaku tanpa senyum mempersilahkan aku masuk.

“Silahkan masuk Nona Elira,” ujarnya sopan.

Aku bangkit dari tempat duduk ku dan berjalan masuk ke ruang kerja sang CEO. Disanalah untuk pertama kali aku melihat sosoknya, Cassian De Luca. Dia berdiri menghadap pintu masuk dan membelakangi pemandangan Kota London dari lantai 38. Dia terlihat sangat berkuasa, pria dengan tinggi kurang lebih 1,8 meter dengan postur yang bagiku kelewat tegak sangat susah untuk dianggap sepele.

Wajahnya khas Italia dengan Beard yang jelas dan mata coklat gelap menatapku tajam seperti mampu melihat kulit ku yang terbungkus Blouse dan Blazer. Aku bergetar melihat tatapannya. Dia tampak begitu kharismatik. Bahkan pimpinan FIRA tidak ada satu pun yang punya aura dan Kharisma sebesar ini, aku tiba tiba merasa kecil, malu dan naif. Auranya begitu Dominan dan menguasai. Dia hanya diam tanpa senyum tapi juga tidak garang.

“Tuan Cassian ini adalah Nona Elira dari FIRA, dan nona ini adalah Tuan Cassian CEO De Luxen,” jelas Moira datar.

Aku mengangguk ke arah Cassian, dia mengedipkan kedua matanya tanpa membalas anggukan ku, dan lalu kami bersalaman. Tangannya hangat dan begitu empuk. Aku merasa seperti tersengat listrik ribuan watt. Entahlah mengapa aku begitu grogi kali ini.

“Selamat siang Nona Elira, selamat datang di De Luxen. Aku harap, stafku sudah menyambut anda dengan baik.” ujar Cassian datar seperti tanpa emosi.

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku sekali lagi. Aku tercekat, suara Cassian begitu hangat dengan tone maskulin yang nyata. Aku merasa tekanan yang sangat kuat dan membungkam, bukan karena nada nya, tapi karena auranya yang mematikan.

Seandainya gedung ini, kantor ini, adalah padang Savanah, maka dapat aku pastikan Cassian De Luca adalah Singa terkuat yang berdiri tegak mengawasi setiap mahkluk yang masuk ke dalam teritorinya.

His Name is Cassian

Dia mempersilahkan aku duduk, lalu dia ijin menerima panggilan ponsel entah dari siapa. Kemudian aku mendengar dia berbicara dalam bahasa Italia yang tidak kumengerti. Sejenak pikiranku kembali melayang pada ingatan akan reputasi Cassian sebagai pria kejam dan genius dalam dunia keuangan global.

Awalnya aku membayangkan dia adalah pria dengan usia diatas 50 an tahun, dengan penampilan tua dan tidak menarik, berambut putih dan berkulit keriput seperti kakek kakek. Tidak ada sama sekali dalam benakku gambaran penampilan Cassian berbalut jas biru gelap dengan postur tubuh atletis yang terlihat nyata dari balik baju yang dia kenakan. Hal itu makin membuatku merasa terpesona dan kehabisan kata kata saat aku ada di hadapannya.

Aku tidak menyangka dia begitu menggoda sekaligus mengintimidasi di saat bersamaan. Tatapan matanya yang tajam penuh selidik, membuatku bergidik dan bergetar. Bahkan jantungku berdetak tidak teratur, dan berharap dia tidak segera mengakhiri pembicaraannya di telepon dan kembali duduk di hadapanku.

Jujur aku tidak siap berbicara dengannya. Tubuhku masih sangat gugup, jantungku detaknya belum teratur. Aku khawatir jika nanti aku harus berbicara dengannya, justru aku makin bergetar, tidak percaya diri dan berkesan amatiran. Sungguh aku ingin menjaga image ku sebagai auditor ternama but How? Jika saat ini saja aku sudah salah tingkah bahkan sebelum Cassian mengajakku berbicara.

“Moira, siapkan para kepala bagian. Aku ingin mereka berkumpul dan mendapat arahan langsung dariku. Sehingga Miss Elira bisa bekerja dengan lancar di masing masing bagian. Aku tidak ingin mempersulit pekerjaannya,” ujar Cassian memberi perintah.

Setelah itu dia kembali duduk kembali di hadapanku, menatapku tajam dengan sedikit senyum yang berkesan sopan namun ditahan.

“Ijinkan saya mempertemukan anda dengan seluruh kepala bagian dimana anda akan melakukan pemeriksaan, “ ujarnya sopan padaku.

“Tentu Tuan Cassian, dengan senang hati,” jawabku singkat.

Setelah itu diam, dan sepi. Aku merasa kikuk. Dia kembali menatapku tajam. Aku tidak berani menatap matanya yang seperti Scanner itu. Aku lebih banyak menunduk atau memperhatikan hal lain yang ada di bawah meja.

Aku dapat merasakan aura Cassian yang berbahaya, namun aku juga sulit menepis pesonanya. Otakku beku dan seperti mortified saat ada di hadapannya. Aku justru merasakan getaran hangat yang aneh, menjalar dari bagian bawah tubuhku dan berhenti tepat di ulu hati. Oh God, mengapa dia begitu mempesona. Aku ingin segera angkat kaki dari sini dan mengatakan pada pimpinan FIRA bahwa perusahaan ini Clean. Aku tidak tahan ada di hadapan Cassian. Dia begitu menggoda.

Sesaat aku mengangkat wajahku dan tatapan kami bertemu. Seketika aku membeku seperti patung es. Tengkuk ku terasa dingin, bibirku bergetar sendiri dan aku tidak tahan. Aku segera mengalihkan pandanganku dari matanya yang tajam, yang saat ini kembali memperhatikan setiap detail tubuhku. Nafasku semakin tidak teratur dan pendek. Aku merasa tatapannya seolah menelanjangi tubuhku tanpa menyentuhnya. Sialan!

Tubuhku bergetar halus, aku merapatkan kedua kakiku, menekan sensasi aneh yang muncul di antara dua kakiku. . Aku benar benar tidak tahan. Aku terjebak dalam pesona Cassian yang sulit kuhadapi. Sepertinya bosku di FIRA sudah salah mengirim orang. Aku merasa diriku tidak layak untuk tugas ini. Aku merasa andai saja Cassian memintaku untuk tutup mulut dan tidak melaporkan penyimpangan perusahaannya, kemungkinan besar aku akan menerimanya.

Aku benar benar merasa jijik dengan diriku sendiri. Aku bahkan sudah kalah duluan sebelum melaksanakan tugas utamaku yaitu memeriksa keuangan mereka. Aku merasa kalah aura, kalah gengsi dan tentu saja kalah pesona. Bukan hanya saat berhadapan dengan Cassian, tapi justru sejak memasuki The Gherkin Tower.

The Predatory Calm

Suara beberapa langkah kaki yang mulai memasuki ruang kerja Cassian membubarkan lamunanku. Moira mengajakku masuk ke ruang lain yang ada di sebelah kantor utama Cassian. Aku masuk ke sebuah ruang meeting dengan meja panjang di tengah. Cassian mengambil tempat paling ujung, tengah, dan Moira menempatkan aku persis di sebelah kanan tempat duduk Cassian.

Dari sini aku bisa mencium aroma parfumnya yang sangat khas. Kebetulan aku penggemar parfum. Aku mengenali parfumnya, pasti ini adalah aroma dari Grand Soir dari Maison Francis Kurkdjian.

Aromanya sangat khas, perpaduan dari amber, tonka bean, benzoin dan vanilla. Aromanya memberikan kesan intens tapi tidak vulgar, sensual, magnetik, seperti pria yang bisa membuat nafas berhenti hanya dengan berbisik.

“That scent... like a secret whispered across silk sheets. I wasn’t sure if it was cologne—or foreplay.”

Cassian berdiri, hanya memberikan sedikit gestur untuk mengatur timnya—dan semua langsung bergerak. Aku merasakan semua orang yang hadir di sana, para kepala bagian, dan pegawai senior sangat hormat, kalau tidak mau dibilang takut pada Cassian.

Aku merasakan aura Dominasi Cassian yang luar biasa besar pada setiap orang yang ada di ruangan itu. Tak terkecuali padaku. Aku merasa dia begitu mendominasi pikiran, sehingga tidak bisa tidak, aku selalu melihat ke arahnya. Dan pandangan kami selalu bertemu berkali kali dan itu membuat badanku gemetar dan denyutan aneh yang kembali menjalari ku seolah dia menyentuh tubuhku dengan cara yang tidak biasa.

Aku menyadari bahwa sejak semua anak buahnya masuk ruangan, dia sama sekali tidak meninggikan suara dan bahkan cenderung diam, namun menata dengan pandangan dan gestur yang susah dikatakan tidak mengandung sikap otoriter yang jelas terbaca.

Semua anak buahnya diminta membantu proses audit yang akan kulakukan. Setiap kali menyebut namaku dia menatapku tajam seolah menghujam kesadaranku dan membuatku bergetar. Suara Baritonnya mampu membuat seluruh peserta meeting tertunduk membisu. Aku mencuri pandang padanya beberapa kali dan dia menangkap mataku dengan tatapan yang mendominasi.

Bagiku setiap gerakannya, tangannya, sikapnya, bahkan bibirnya seolah meninggalkan kesan sensual yang sulit di sangkal. Aku berkali kali mencubit diriku sendiri, mencoba mengusir pikiran dan sensasi gila yang muncul dari otakku yang kali ini tidak bisa diajak berpikir waras. Entahlah Cassian De Luca seperti Man of My type, sehingga hanya dengan memandangnya saja aku merasa dia seperti menguasai seluruh fokus dan kesadaranku. Sehingga tubuhku terasa berdenyut keras dan nafasku pun memendek.

Shit!

His Presence, My Skin

Setelah rapat dengan Cassian dan tim De Luxen, lalu memperkenalkan aku sebagai auditor yang akan mengaudit kantor mereka dalam beberapa waktu ke depan, Moira Kelleher mendekatiku dan berkata, “ Nona Elira, tuan Cassian ingin menemui anda secara pribadi setelah ini. Mohon menunggu di ruangan beliau.”

Walau sedikit terkejut, aku sudah menduga bahwa Cassian pasti ingin menemuiku secara pribadi. Seperti halnya CEO perusahan lain yang pernah aku audit, biasanya mereka melakukan pendekatan dalam rangka memberikan batasan atau yah…ingin mendekati auditor agar tidak terlalu keras dalam melakukan tugasnya. Aku sudah sangat hafal dan aku tahu betul ini akan terjadi.

Hampir 10 menit sebelum akhirnya Cassian datang dan menyapa.

“Maaf, saya membuat anda menunggu Miss Elira,”ujarnya dengan suara yang dalam dan tenang.

“Tidak apa tuan Cassian. Apakah ada yang mungkin ingin disampaikan,” balasku

Cassian memandangku dari kursinya dengan tatapan tajam.

“Sebelumnya saya minta maaf jika sambutan kami tidak sempurna. Sekarang izinkan saya mengenal anda lebih dalam,” ujarnya sambil membuka Profil Petugas yang merupakan dokumen pengantar dari FIRA.

Aku menunduk mencoba menenangkan diri. Rasanya udara dalam ruangannya menjadi lebih hangat.

“Hemm rupanya anda lulusan dan Oxford University, dengan nilai Excelen. Saya yakin anda punya banyak pengetahuan dan pengalaman nona. Tapi kalau boleh saya ingatkan dalam dunia korporasi seperti perusahaan saya, ada banyak hal yang tidak akan anda temui baik itu di bangku kuliah atau di lingkungan perusahaan lain. Saya yakin kita perlu bicara banyak dalam hal ini,” ujarnya sambil menatapku penuh makna.

Aku menatapnya sekilas, tapi tidak bisa dipungkiri wajahku memanas dan aku sibuk menyembunyikan senyumku.

“Anda sepertinya harus bekerja sendiri dalam mengaudit perusahaan saya. Saya hanya ingin memastikan anda tidak kesepian Miss Elira. Untuk itu saya sudah menyiapkan satu ruang khusus di sebelah kantor saya untuk anda. Sehingga anda bisa langsung bertanya pada saya jika ada hal hal yang dirasa aneh, atau perlu penjelasan,” ujarnya lagi seraya mengembalikan berkasku.

Tanpa sengaja dokumen itu menabrak tanganku dan hampir jatuh. Aku spontan menjerit dan dia malah memegang tanganku. Tangannya yang hangat dan berbulu itu seperti mengalirkan listrik ribuan watt dan membuatku kembali berdenyut pelan.

“Ah maaf Miss Elira, saya terlalu ceroboh,” ujarnya sambil masih tetap memegang tanganku dan menatapku tajam.

Aku mencoba tersenyum, tapi entahlah aku makin tak mampu menahan diri, aku ingin dia tetap memegang tanganku, seolah itu bukan sebuah kebetulan. Aku seperti ABG yang jatuh cinta pada pandangan pertama, sikapku kemungkinan jadi berkesan aneh dan canggung. Aku merasa sedikit malu padanya.

“Be..besok saya akan mulai bekerja tuan Cassian. Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik tuan, “ ujarku seraya berdiri dan mengakhiri pembicaraan.

Dia mengangguk kan kepala dengan anggun lalu membuka pintu untukku, membungkuk sedikit dengan hormat dan menatapku sambil tersenyum. Begitu sampai di luar ruangan, aku menghembuskan nafas lega. Ya Tuhan, mengapa dia begitu mempesona? Aku yakin Cassian akan membuatku sulit melaksanakan tugasku dengan baik. Bagaimana mungkin aku mampu bekerja dengan maksimal jika aku selalu ingin disentuh olehnya?

Under His Eye

Sesampainya di Kantor FIRA hari itu, aku berusaha untuk tetap berpikir waras meskipun itu sulit. Tatapan mata Cassian yang seperti menguliti ku membuatku terus berdenyut. Aku tersenyum senyum sendiri sepanjang siang itu. Bahkan tanpa sadar aku tersenyum pada cermin make up ku hingga membuat temanku, Lolita yang kebetulan masuk ke ruanganku terkejut melihatnya.

“Baru kali ini aku melihatmu tersenyum pada cermin make up. Sepertinya kau sedang jatuh cinta Elira. Hemmm kau dari mana seharian ini?” tanya Lolita.

Aku menoleh padanya dan pura pura kembali serius.

“ Deluxen Strategic Holdings,” jawabku singkat.

“Hemmm Pria italia itu, Cassian De Luca, Pengusaha misterius yang senyumnya membuat banyak orang ketakutan, kau pasti bertemu dengannya bukan?” ujarnya sambil menatapku penuh selidik

Aku menjawab,” Dia tidak semenakutkan itu Lita. Dia ramah dan sangat sopan,” ujarku tanpa bisa menyembunyikan wajahku yang menghangat.

“Ah….jangan katakan kau jatuh cinta pada Cassian De Luca. Ingat Elira, dia adalah pemilik perusahaan yang sedang kau audit. Jangan biarkan pesonanya menghalangimu bertindak tegas dan rasional seperti biasanya,” goda Lolita

Aku merengut dan mencubitnya,” Tentu tidak Lita, aku pasti akan membuat Tuan De Luca yang terhormat bertekuk lutut seperti para pengusaha lainnya. Aku akan membuat dia mengakui kesalahan pelaporan pajak, tindakan penyembunyian pendapatan, bahkan jika memungkinkan money Laundry yang ditengarai dilakukan oleh perusahaannya.”

“Kau yakin Elira? Hemmm jangan sampai kau yang justru bertekuk lutut di ranjangnya yang hangat dalam Penthouse mewah miliknya,” ujar Lolita sambil mengedipkan matanya.

“Ah kau gila, mana mungkin dia mau denganku? Lagi pula aku sudah dua tahun tanpa laki laki dan hidupku baik baik saja. Aku yakin aku bisa mengendalikan diriku dan tetap profesional,” jawabku berusaha menepis kecurigaan Lolita.

“Syukurlah jika kau yakin mampu menepis pesona Cassian. Namun aku melihatmu seperti susah melupakan pesona pria itu. Dia memang mempesona Elira. Tapi dia juga diduga mafia keuangan kelas kakap. So Lupakan impian gilamu jika itu muncul di kepalamu,” tambah Lolita.

“Impian gila apa maksudmu?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Tentu saja tidur dengannya, merasakan sentuhan dan belaiannya di tubuhmu yang jablay itu,” seloroh Lolita sambil tertawa. Kali ini aku tidak menjawabnya, aku hanya melempar dia dengan buku lalu kami tertawa terbahak bahak.

Jujur pernyataan Lolita sama sekali tidak salah. Aku memang sempat membayangkan, dia memasuki ruangan ku dengan senyum Khasnya dan mata yang tajam itu. Lalu menyentuh tengkuk ku dengan tangannya yang hangat dan berkata, “Kau sungguh menawan Elira.”

Aku berusaha menepis bayangan itu, namun sulit. Kembali aku membayangkan dia menyentuh wajahku dengan lembut dan mencium bibirku dengan bibirnya yang basah menawan. Dia melumatnya sembari meraba bagian tubuhku yang sudah lama tidak dijamah pria manapun. Aku kembali merasakan denyutan itu lagi. Aku bisa membayangkan diriku akan orgasme berkali kali di bawah tatapan mata dan gemulai tangannya yang hangatnya masih kurasakan hingga kini.

Shit!

Sepertinya malam ini aku harus menggunakan Vibratorku jika pikiran gila ini ini tidak kunjung pergi. Oh Tuhan badanku bergetar lembut. Aku sudah tidak tahan lagi. Jika khayalan ini saja mampu membuatku basah berdenyut dan ingin segera pulang lalu bermain dengan Vibrator ku. Bagaimana jika ini adalah sebuah kenyataan? Apakah aku mampu menepis gairah ini? Jika ini hanya awalnya… apa yang akan terjadi saat dia benar-benar menyentuhku?

Alone With His Shadow

Hujan gerimis mewarnai langit Kota London saat akhirnya aku pulang ke apartemenku yang kecil dan hangat. Aku kembali masuk ke ruang apartemenku yang hening dan pekat dengan kebisuan panjang. Tinggal sendiri sebagai bujangan selalu membuatku terjebak dalam silent hour selam lebih dari 12 jam. Dan itu terasa begitu menyakitkan. Tidak ada teman bicara, bahkan hanya untuk sekedar bertegur sapa. Entah sampai kapan ini akan terjadi.

Setelah membuat minuman hangat untuk diriku, aku menuju ruang baca, dan kembali membuka dokumen yang besok akan aku gunakan untuk memeriksa De Luxen. Entah bagaimana awalnya, tetapi pikiran tentang Cassian kembali menghantam kesadaranku.

Suasana dingin dan remang, serta sepi yang memadat, membuatku kembali merasakan aroma Parfum Cassian yang mungkin menempel di bajuku. Aroma yang begitu pekat, hangat dan liar. Aku kembali terbayang tatapan Cassian yang seperti menelanjangiku. Tubuhku kembali bergetar lembut.

Masih terasa bagaimana tangannya yang hangat menggenggam erat tanganku. Aku seperti tersihir. Perlahan namun pasti kubuka blouse ku dan kupejamkan mata. Aku merasa seperti dia ada di belakangku saat ini, membisikkan sesuatu yang tidak jelas, namun mampu menyeret fantasiku untuk lebih jauh membayangkan dirinya.

Fantasiku menjadi makin liar, aku merasakan hembusan nafasnya yang hangat, di dalam apartemenku yang dingin membeku. Nafas itu menyapu tengkuk ku, leherku dan menggetarkan seluruh tubuhku. Tiba tiba aku bisa merasakan tangannya yang hangat dan kokoh mencengkeram pinggangku dan perlahan turun menyingkap rokku dan masuk diantara kedua pahaku.

“Please don’t Stop Cassian, “ aku bergumam pelan meskipun pikiran sadarku paham bahwa tidak ada siapapun di sana selain aku dan fantasiku.

Aku sudah tidak tahan lagi, kubuka laci dan kuraih benda merah muda itu. Vibratorku, yang sudah selama dua tahun ini menemani malam malam sepiku. Aku membuka diriku sendiri, dan merasakan lembutnya cahaya rembulan kota London yang masuk dari celah Tirai jendela yang sudah kututup rapat.

Aku bersandar lembut pada Sofa, dan perlahan namun intens memainkan alat itu di pusat tubuhku yang sudah basah sejak tadi. Aku memainkannya, merasakan sensasinya yang makin lama makin mengguncang dan membuatku menggelinjang kecil. Tanganku bermain sementara pikiranku dipenuhi bayangan Cassian yang mempesona, mengusir kesepianku malam ini.

“I wasn’t touching myself. I was touching the version of him I had built inside my mind—the man behind the glass, now inside my room.”

Tubuhku makin melengkung merasakan getaran benda kecil itu, dengan fantasi Cassian berdiri di depanku dengan dominasinya yang susah kulawan, dia menekanku begitu dalam diatas Sofa ini dan sembari menciumi leherku, dia menyuruhku diam, “Ssssh Baby, just Feel me don’t talk.”

Sesaat sebelum pelepasan itu menghantamku hingga membuat seluruh tubuhku mengejang dan kaki ku bergetar kuat, aku membisikkan namanya lirih, “Cassian.” Dan ketika badai itu menghantamku bertubi tubi, aku hanya bisa menjerit lirih dan meneteskan air mata. Sebuah gejolak kenikmatan yang tak lama setelahnya menghadirkan sepi menyayat di hatiku.

Aku terbaring di atas Sofa, Gelombang itu masih menghadirkan sensasi yang mampu membuat tubuhku bergetar ringan seperti terkena gempa. Nafasku yang pendek menghasilkan suara desahan seperti tangisan kecil.

“The heat between my thighs wasn’t mine—it belonged to the ghost of a man I hadn’t touched, but already craved.”

Tak lama setelah itu aku seperti tenggelam dalam gelapnya malam, tertidur dengan Vibrator yang terlepas dari tanganku dan menggelinding entah kemana.

****

BACA CHAPTER 3