Under The Blood Moon

PROLOG

DARK VAMPIRE ROMANCE

Leona Night

10/15/20252 min read

“The moment their lips met, destiny rewrote itself — not with ink and parchment, but with blood, longing, and the shattering of worlds.”

Salju turun seperti debu cahaya dari langit malam, menyelimuti tanah dalam keheningan yang tak bersuara. Di tengah lingkaran rune merah yang masih berdenyut samar, Seraphina berdiri dengan dada berdebar — detak jantungnya tak lagi ia dengar, hanya desiran udara dingin dan bisikan asing yang menari di telinganya.

Ia sudah melakukan ritual itu berkali-kali.
Selalu sama: bisikan, bayangan, kehadiran samar yang tak pernah bisa ia sentuh.
Tapi malam ini… segalanya berbeda.

Udara bergetar, seperti ada sesuatu yang memaksa dirinya keluar dari celah antara dua dunia. Cahaya merah dari simbol di tanah berdenyut kuat — lalu mengalir ke tubuhnya sendiri, seperti jaring halus yang merambat ke setiap helai sarafnya. Dan saat itu terjadi… ia melihatnya.

Dia berdiri tepat di depan mata Seraphina.
Tidak lagi seperti bayangan kabut yang selama ini menyapanya dalam mimpi dan mantra.
Dia — dengan mata keperakan yang menyala lembut, dengan rambut hitam sekelam malam tanpa bulan, dengan tubuh tinggi yang memancarkan kehangatan — kini nyata.

Udara di sekeliling mereka berubah.
Waktu seakan berhenti.

Seraphina mengangkat tangannya — ragu, gemetar — lalu menyentuh permukaan kulitnya. Hangat. Lembut. Nyata.
Sentuhan itu seperti petir halus yang menjalar dari ujung jarinya ke dalam dadanya, membangkitkan sesuatu yang selama ini tertidur: kerinduan yang bahkan kematian tak mampu mematikan.

“Siapa kau…?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Seraphina dalam-dalam — seolah setiap helaan nafasnya menyimpan rahasia berabad-abad lamanya. Lalu dengan langkah perlahan, ia meraih tangan Seraphina dan menempelkannya ke dadanya sendiri.
Detak jantungnya berdegup. Nyata. Berirama. Hidup.

“Aku… yang selalu menjawab panggilanmu,” katanya pelan, suaranya berat seperti gema dari tempat yang terlalu jauh untuk dipahami. “Dan kini… aku disini.”

Seraphina seharusnya takut. Seharusnya bertanya. Seharusnya memikirkan konsekuensi dari kehadiran yang tak seharusnya bisa menyeberang.

Namun yang ia rasakan hanyalah kelegaan yang menyakitkan.
Seolah selama ini ia hidup dalam kekosongan, dan kehadiran lelaki ini — siapa pun dia — mengisinya tanpa sisa.

Mereka berdiri sangat dekat. Terlalu dekat.
Dan saat tatapan mereka bersentuhan, dunia di sekeliling lenyap — hanya ada keduanya, hanya ada napas yang saling mencari.

Ciuman itu terjadi tanpa rencana.
Lambat, dalam, penuh penyerahan.
Seperti dua jiwa yang telah lama saling mencari akhirnya menemukan rumahnya. Waktu berhenti. Tubuh mereka saling menempel, jari-jari saling menggenggam, seolah tak akan pernah melepaskan.

Tapi di sela kehangatan itu, sesuatu menusuk batin Seraphina — sebuah kesadaran kecil, tajam, dan tak terucap.

Ini bukan Aurelian.
Bukan jiwa yang selama ini ia panggil.
Bukan cinta lama yang ia coba kembalikan.

Namun mengapa setiap detik bersamanya terasa lebih hidup dari seluruh kehidupannya sebelumnya?
Mengapa dalam pelukannya, luka-luka lama berhenti berdarah?

Pertanyaan itu menggantung di udara dingin malam itu, tak terjawab.
Hanya detak jantung dua dunia yang kini berirama dalam satu nada — …dan kelopak pertama jiwanya yang perlahan gugur ke tanah.

BACA CHAPTER 1