Going Home

Chapter 3. Cinta Seputih Salju

Leona Night

11/27/20255 min read

Clara Johansson’S POV

Kembali ke Swedia, aku menggunakan Pesawat Delta Airlines melalui bandar udara John F Kennedy. Rasanya seperti berabad lamanya aku meninggalkan Kota Ljusdal (kalau tidak ingin dibilang desa) tempat kelahiranku. Tentu saja tidak ada pesawat yang langsung ke Ljusdal. Dari New York aku transit di Stockholm, setelah itu naik kereta selama kurang lebih 3,5 jam ke Ljusdal.

Penerbanganku menggunakan Delta Airline berangkat pukul 20.00 waktu JFK dan tiba di Bandar udara Stockholm sekitar pukul 10.00 pagi. Terdapat perbedaan waktu yang cukup mencolok karena kedua negara berada di dua kawasan waktu yang berbeda. Amerika ada di zona waktu (Eastern time, UTC- 5) sementara Stockholm berada di Zona waktu (Central European Time , UTC+1) perbedaan zona waktu ini akan menyebabkan Jetlag, meskipun tidak terlalu parah. Untuk itulah aku berusaha tidur selama di dalam pesawat.

Aku merasa penerbangan ini seperti kembali ke titik nol. Kembali ke akar keluarga dan budayaku. Melalui perjalanan ini aku merasa diriku adalah anak yang hilang. Bayangkan 10 tahun lebih tidak pernah sekalipun aku mengunjungi kedua orang tuaku. Lima tahun pertama kepergianku dari Swedia adalah untuk belajar di Harvard University, untuk menempuh Program Master maupun Doktoral. Lima tahun kedua aku bekerja di New York, di perusahaan milik Edward. Praktis waktuku habis hanya untuk Fokus pada diri sendiri dan tidak sekalipun memikirkan kedua orang tuaku. Karena hal inilah, selama penerbangan rasa bersalah yang luar biasa besar menghampiri pikiranku.

Kalau aku renungkan wajar rasanya jika aku mengalami hubungan cinta yang toksik dengan Edward. Mungkin itu adalah karma yang harus kupetik karena sudah begitu abay pada orang tua dan keluargaku. Sesekali aku menyeka air mata yang masih saja menetes. Bayangkan aku dulu berangkat dengan hanya membawa tas kecil dan sedikit baju. Sekarang hal yang nyaris sama terjadi padaku. Aku pulang dengan baju seadanya dan tidak banyak uang yang aku bawa. Sungguh miris.

Sebenarnya sebelum peristiwa putusnya aku dengan Edward dan kembali ke Swedia, tentu saja aku punya banyak uang. Tetapi semenjak percakapanku dengannya terakhir kali itu, aku merasa jijik dengan semua harta benda yang dia beri. Aku khawatir nanti dibelakang hari dia akan mengungkit apa saja yang telah dia berikan padaku. Itulah mengapa aku transfer kembali semua uang darinya. Aku juga tinggalkan semua barang mewah ku dan segala perhiasan yang ku peroleh darinya selama 5 tahun.

Satu satunya barang pemberiannya yang masih aku pakai adalah ponsel ini dan tentunya tas jinjing yang berisi pakaianku. Selebihnya semua adalah barang yang aku beli sendiri menggunakan penghasilanku. Setelah pertengkaran itu, satu satunya keinginanku adalah menghilang dari New York dan kembali ke tengah keluargaku. Kembali pada orang orang yang benar benar mencintaiku.

Sesuai perkiraan, aku sampai di Stockholm tepat pukul 10 pagi. Segera setelahnya aku menuju ke Stasiun kereta api yang untungnya tidak terlalu jauh dari Bandar udara Stockholm. Dan disinilah aku sekarang, kembali ke titik awal, sebagai gadis desa Ljusdal menggunakan kereta api dengan waktu perjalanan sekitar 3,5 jam.


LJusdal adalah adalah sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Gävleborg County, di bagian tengah Swedia. Ljusdal dikenal sebagai daerah pedesaan dengan lanskap alam yang indah, dikelilingi oleh hutan dan danau, menjadikannya destinasi yang tenang dan menarik bagi para pecinta alam.

Dulu aku dan ayah serta dua orang saudara laki lakiku sering melakukan pendakian atau sekedar berjalan di alam bebas. Kehidupan kami yang dekat dengan alam membuat diri kami sangat mencintai dan menghargai ketulusan dan kejujuran. Sebuah watak yang sangat sulit ditemui di kota besar seperti New York.

Selama dalam perjalanan menggunakan kereta api, aku berusaha mengalihkan perhatianku dari rasa sakit yang masih terasa. Sakit karena dibohongi, sakit karena dianggap remeh dan sakit karena tidak dihargai layaknya orang yang dicintai. Aku merasa diriku hanya dimanfaatkan saja selama lima tahun ini. Aku benar benar merasa bodoh.

Tak terasa, aku sudah sampai di stasiun Ljusdal. Suasananya masih sama persis, tidak banyak perubahan yang berarti. Tiba tiba aku merasa ada seseorang yang menepuk punggungku.

“Hai, kau Clara bukan?”

Spontan aku menoleh, aku melihat wajah sahabat masa kecilku, Sophie.


“Hai Sophie, kau masih mengenaliku?” tanyaku padanya.

“Pastilah, kau tambah Cantik Clara. Hemm mau pulang ke rumah mu?” tanya Sophie ramah

“Eh ya..aku mau pulang, ke rumah,”

“Ikutlah aku Clara, kita sejalur. Biar aku antar kau sampai ke rumah mu. Kebetulan aku bawa mobil. Aku harap kau tidak keberatan karena suami dan anakku ikut menjemputku.”

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Sophie menuju mobilnya. Dan kami pun berempat segera menuju ke desa kami. Dalam perjalanan itu aku sangat kagum dengan keindahan dan keasrian Ljusdal. Tempat ini masih indah seperti dulu. Keindahan yang sudah amat sangat lama kulupakan. Tak berapa lama, mobil sophie sampai di depan halaman rumahku.

“Kau tidak ingin mampir Sophie,” tanyaku

“Aku akan segera mengunjungimu dan berbincang bincang seperti dulu, Kau pasti ingin istirahat dan melepas rindu bersama keluargamu,” ujar Sophie dengan senyumnya yang khas.

“Baiklah Sophie, aku tunggu kabar darimu,”

Aku pun turun dan memandang rumah masa kecilku yang terasa hangat. Memang jauh dari kemewahan apartemen di New York yang biasa ku tempati, Tapi rumah ini memberi pancaran kebahagiaan yang tidak aku dapatkan selama merantau di Amerika.

Perlahan aku menaiki tangga rumah dan mengetuk pintu dengan ragu.

Tok Tok Tok…

Terdengar suara ibu menjawab dan berjalan ke arah pintu. Hatiku bergetar, air mataku hampir saja meleleh. Dan ketika pintu itu benar benar terbuka, aku melihat wajah ibuku yang sudah begitu lama kurindukan.

“Ibu” teriakku sambil memeluk wanita tua itu.

Ibu segera membalas pelukanku dan berteriak pada ayah,” James…Clara datang, James,”

Bergegas ayah keluar dan menyambutku dengan penuh kasih sayang, mereka berdua memelukku bergantian persis ketika aku masih kecil dulu. Tak terasa air mataku menetes.

“Kau tampak sehat dan cantik Clara. Ibu bangga padamu nak,” ujar ibu

“Bu, ajak Clara istirahat. Siapkan kamarnya. Mana nak ayah bawakan kopermu.”

Aku melangkah masuk ke dalam rumah masa kecilku. Tiba tiba aku merasa menjelma kembali menjadi anak kecil ayah dan ibu. Satu satunya anak Wanita yang selalu mendapatkan apa yang aku mau. Aku menoleh pada dinding dimana Foto masa kecilku terpasang. Semua masih sama. Persis seperti dulu. Seperti waktu aku meninggalkan rumah ini.

Sesampai di kamarku, aku makin terkejut. Ayah dan ibu menatanya persis seperti dulu saat kutinggalkan.

“Ibu tidak merubah atau menggeser apapun Clara. Semuanya masih sama seperti dulu. Itu, Boneka Teddy bear kesayangan mu, masih tetap di tempatnya. Tidak bergeser sedikitpun,”

Aku terharu melihat kamarku yang begitu rapi dan terpelihara. Ayah dan ibu tidak merubahnya sedikitpun.

“Terimakasih ibu, ayah. Kalian begitu menghargai ku. Kamar ini tidak ada perubahan apapun. Aku merasa tersanjung dan dihargai,”

“Jangan begitu nak. Kau anak kami juga, walaupun kau jauh dan sudah dewasa serta cantik seperti ini. Kau tetap anak perempuan kecilku. Aku tetap menjaga semua barangmu pada tempatnya. Aku selalu yakin, pemilik kamar ini akan pulang pada waktunya. Dia akan kembali ke pangkuanku lagi seperti dulu,” ujar ibu sambil mengelus wajahku dengan penuh kasih.

Aku merasa sangat terharu, hingga air mataku pun meleleh dan kembali kami saling berpelukan.

“Sudah, bu. Biarkan anak wanitamu ini istirahat dengan tenang. Dia tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Buatkan minuman hangat untuknya,” ujar ayah.

“Bu tidak perlu repot. Nanti sore saja. Kita punya banyak waktu untuk berbincang bincang sambil menghabiskan sore bersama. Siapa tahu Northern Light muncul di langit, Aku sudah lama tidak melihatnya,” Ujarku sambil mencium pipi ayah dan ibuku.

“Baiklah jika demikian. Gantilah baju, lalu istirahat dulu. Nanti jam makan siang kami semua menunggumu di meja makan. Kita makan bersama seperti dulu lagi ya.” ujar ibu sambil mencium pipiku.

Aku mengangguk pelan. Rasa bahagia menyelinap di dalam hatiku yang gersang. Kesedihan yang aku rasakan sepanjang perjalanan tadi, sirna seketika, berganti dengan suasana bahagia, tenang dan damai. Kedamaian yang telah lama hilang dari hidupku. .

*****

ALL CHAPTER

BACK TO PROLOG