Venice Masquerade
PROLOG ( THE RED CLUB )
THE FANG CHRONICELS SERIES
LEONA NIGHT
8/25/20253 min read


Malam baru saja mencair di atas kanal-kanal Venice, dan di dalam Red Club, dunia mulai menanggalkan topengnya.Red Club tidak pernah bersuara terlalu keras. Ia hanya berbisik melalui denting gelas kristal, tawa wanita yang sengaja ditahan di tenggorokan, dan derap langkah hak tinggi yang meluncur pelan di atas marmer tua. Malam itu, seluruh udara membawa aroma parfum bernama dosa.
Di ruangan persiapan belakang, Leonita Montserrat menatap dirinya sendiri di cermin oval tinggi yang dilapisi bingkai emas. Gaun hitam satin berpotongan rendah menempel sempurna di kulitnya seperti kulit kedua, membentuk siluet yang mematikan. Rambutnya digelung longgar, menyisakan sehelai poni lembut yang jatuh di dahi. Satu sisi bahunya terbuka—sengaja—karena bahu, katanya, adalah bagian tubuh paling jujur dalam menggoda.
Tangannya meraih lipstik merah marun di meja rias, lalu mengoleskannya perlahan. Ia tidak sedang berdandan untuk terlihat cantik. Ia sedang menciptakan karakter. Seorang wanita yang tak bisa disentuh, tapi membuat pria ingin memohon hanya untuk mencium ujung jarinya.
Leonita tahu perannya malam ini. Dia bukan pelayan. Bukan wanita panggung. Tapi umpan yang bisa membunuh.
Sudah enam minggu ia berada di Red Club, merayap melalui sistem bawah tanah dengan senyum palsu dan mata yang terlalu tenang untuk wanita kelas bawah. Tidak ada satu pun di klub ini yang tahu siapa dia. Mereka pikir dia hanya gadis cantik yang pandai menyajikan wine dan tahu kapan harus tertawa. Padahal, setiap gelas yang ia letakkan di atas meja—setiap langkah yang ia ambil di sekitar para bangsawan—adalah bagian dari permainan yang dirancang untuk menghancurkan.
"Kau harus membuatnya jatuh," begitu kata perempuan cantik yang membayarnya waktu itu.
"Bukan karena kau cantik. Tapi karena dia tidak tahan menghadapi perempuan yang tahu betul cara memberikan sensasi tak terlupakan pada tubuh dan pikiran."
Dan malam ini target utamanya, Edward Bennett akan datang.
Leonita menarik napas dalam. Bukan karena gugup. Tapi karena ia tahu, setelah malam ini, tidak akan ada ruang untuk bernafas dengan tenang lagi.
Dia melangkah ke luar ruangan. Musik jazz klasik mengalun dari ruang utama Red Club. Lampu gantung kristal menjatuhkan bayangan berpendar di dinding. Lantai marmer dipoles begitu licin hingga bayangan orang bisa terlihat penuh di sana—dan bayangan Leonita tampak seperti sosok wanita liar mencari mangsa.
Pria-pria berdasi gelap dan wanita-wanita bertopeng duduk di kursi beludru merah, membicarakan seni dan uang sambil menjual sebagian harga diri mereka sendiri dalam bentuk senyuman yang berakhir dengan ciuman panas dan gerakan tubuh sensual tak terkendali. Tapi semua mata yang tahu arah aroma... mulai bergerak ke satu titik.
Leonita.
Bukan karena dia paling cantik. Tapi karena dia paling... berbeda. Seperti kegelapan yang tidak meminta dimaafkan.
Saat dia melewati meja utama, beberapa pria menoleh, beberapa pura-pura tidak. Tapi satu sosok di balik tirai observasi menurunkan kopinya pelan.
"Itu dia?"
"Ya," kata seseorang di belakangnya. "Leonita Montserrat. Gadis baru yang dibawa Richie Kemarin sore. Dia hot dan menjanjikan.”
"Dia terlihat...—"
"Berbahaya."
Malam terus bergerak. Leonita menyapa pelan. Senyumnya hangat, tapi tidak pernah penuh. Setiap langkahnya dirancang seperti simfoni: pelan, pasti, dan membuat semua orang menahan napas.
Ketika Edward akhirnya muncul, pintu utama Red Club tidak terbuka dengan suara keras. Hanya satu suara pelan, lalu hening. Tapi udara berubah. Seolah seseorang masuk membawa aura berbeda.
Leonita tidak langsung menoleh. Dia hanya tersenyum pelan dan mengambil nampan. Tapi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Dia tahu langkah itu. Getaran tanah itu. Sorotan mata yang bisa membongkar ilusi hanya dalam satu detik.
Edward Bennett.
Pria yang harus dihancurkan, namun bisa jadi yang akan menghancurkannya lebih dulu.
Saat Edward melewati lorong, tatapannya menangkap Leonita dari jauh. Tak satu kata pun keluar. Tapi sorot itu...
Bagi Leonita sorot mata Edward seperti berkata, "Aku pernah mencium bahaya yang seperti ini. Tapi yang ini manis, pahit dan membara, seperti segelas Bourbon tanpa es batu.”
Bulu kuduk Leonita meremang, terbayang dalam benaknya malam panjang yang akan dilaluinya dalam kamar sempit Red Club bersama Edward. Malam dimana tubuhnya akan merasakan manis dan getirnya bibir Edward Bennet menjelajahi tubuh polosnya di bawah temaram lampu, sebelum akhirnya belati kecil yang dia bawa menancap keras dan dalam pada dada pria yang oleh banyak orang dikenal sebagai “The Devil”.
IKUTI CERITA LENGKAPNYA DG KLIK LINK BERIKUT